Belajar di Becak
Sudah menjadi kebiasaan jika Budhe berkunjung
ke Jogja pasti semua keluarga berkumpul dan pergi berjalan-jalan bersama. Sayangnya
malam itu sepertinya tidak ada keberuntungan yang menghinggapi kami. Setelah dari
Mall Malioboro, saya dan beberapa orang keluarga saya yang lain memutuskan untuk
pulang dengan menggunakan taksi. Setelah cukup lama menunggu akhirnya lewatlah
taksi yang dimaksud, kamipun melambai-lambaikan tangan agar pak sopir dapat
melihat kami (dan tidak keduluan orang lain). Namun taksi itu terus saja
melaju tak peduli banyaknya orang yang berebut kendaraan malam itu. Ternyata
taksi-taksi tersebut tidak mau berhenti karena ketatnya penjagaan dari para
polisi di sepanjang Jalan Malioboro. Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan
bus Transjogja, namun lagi-lagi bus yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Budhe
yang sudah jengkel dan lelah menunggu pun mengajak kami semua naik becak. Saya sih senang saja kalau diajak naik becak,
kebetulan cuaca malam itu juga sedang cerah sehingga akan sangat mengasyikkan
kalau melihat-lihat jalanan kota Jogja waktu malam dengan atap becak yang
terbuka.
Kami memesan beberapa becak dan naik
secara berpasang-pasangan. Kebetulan saya satu becak dengan Budhe. Sepanjang perjalanan
bapak tukang becak mengajak kami ngobrol dengan ramah. Dengan logat dan bahasa
Jawanya yang masih kental ia memulai percakapan diantara kami. Ia bercerita kalau dirinya memiliki 4 orang anak, jaler sedaya, katanya. Dari suaranya terlihat bahwa ia begitu
bangga dengan keempat anaknya, ia ditinggal istrinya saat anak-anaknya masih
kecil namun bapak itu tidak mau menikah lagi. Ia terus bekerja menarik becak
untuk membiayai kehidupan mereka. Bapak tukang becak itu juga cerita kalau anak
pertamanya bisa kuliah di universitas terkenal di Jogja (you know what I mean
;) ) dan kini sudah bekerja, anak keduanya pun juga kuliah di universitas yang
sama dengan kakaknya bahkan sudah bekerja di Korea. Bapak itu bangga kalau
anak-anaknya dapat hidup prihatin (tidak bermewah-mewah, sederhana) dan mengerti kondisi orangtuanya. Ia berkata kalau
biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya itu sangat banyak, kadang sampai membuatnya
kewalahan, namun mengingat anak-anaknya yang patuh dan tekun itu membuatnya
semangat bekerja sehingga mereka tetap dapat bertahan sampai sekarang.
Ada beberapa hal yang saya garis
bawahi dari bapak tukang becak ini. Pertama, tarif dan servis yang baik. Sikapnya
yang ramah dan tarif becak yang sesuai sudah jarang ditemukan di kota ini. Kebanyakan
tukang becak menaruh harga yang tingginya selangit agar cepat mendapat
keuntungan ditambah sikapnya yang sering membuat kesal. Kedua, kesetiaan dan
komitmen. Ia memilih untuk fokus membesarkan anak-anaknya daripada memikirkan
untuk menikah lagi ditengah trend kawin cerai dan trend istri-lebih-dari-satu
yang sering kita saksikan di televisi. Ketiga, kegigihannya mengantarkan anak-anaknya
untuk mendulang kesuksesan dan cara mereka survive dengan mengandalkan pekerjaan
tersebut.
-Bahkan
dari seorang tukang becak pun kita dapat belajar sesuatu-
0 komentar: